Teman-teman, dalam lima tahun terakhir ini, kiprah
lembaga PSDM di lingkungan kita dirasakan belum
optimal dan belum sesuai harapan. Ada sejumlah masalah
yang muncul di lingkungan Kampung Panjang (dengan
motto : Satu Atap, Banyak Saudara) yang menjadi
jobdesk PSDM, tidak ditangani secara fair baik bagi
perusahaan dan karyawan. Fakta-fakta yang terjadi
diantaranya :
Ditolak Gramedia Majalah eh, masuk Harian Kompas.
Rekan saya fotografer Kompas, M. Yuniadhi Agung *)
bercerita, sebelum masuk Kompas, tahun 2001 dirinya
sebagai wartawan foto di majalah Motor, kelompok
Gramedia Majalah. Agung, demikian dia disapa, hanya
menjalani masa percobaannya selama 2 bulan. Habis itu
diputus. Alasan dari pihak PSDM –kata Agung- dirinya
(tepatnya karyanya) belum cocok sebagai wartawan foto
yang dibutuhkan oleh majalah tersebut.
Masih menurut PSDM, karena foto-foto hasil karya Agung
masih didominasi karya foto yang bernafas
fotojurnalistik, melenceng dari harapan gaya foto
yang dibutuhkan oleh majalah Motor .
Untuk itu, Agung tidak diperpanjang dan keluar dari
Gramedia Majalah. Tapi anehnya, bila memang aliran
fotonya Agung adalah fotojurnalistik, kenapa tidak
ditawarkan atau diberdayakan ke media-media yang
menganut paham fotojurnalistik di lingkungan Gramedia
Majalah, seperti majalah Intisari atau Tabloid NOVA?
Yuniadi Agung adalah SDM atau aset yang andal, muda,
segar , dan tangguh. Kenapa mesti dilepas? Kenapa
tidak diberdayakan di lingkup Gramedia Majalah. Saya
tidak mengerti jalan pikiran orang-orang di SDM itu?
Di tahun 2002, ternyata Agung diterima di Harian
Kompas sebagai wartawan foto dengan penggarapan foto
yang beragam. Kini setelah menjadi wartawan tetap
Agung malah dipercaya menggarap foto-foto untuk Kompas
Minggu dengan wilayah garapan foto boga, lifestyle,
fashion, hiburan dan otomotif. Nah lho!
Ditolak masuk Gramedia Majalah, eh masuk Koran Sindo.
Selain Agung, ada juga masalah SDM yang terjadi di
Tabloid Nova. Kali ini menimpa reporter Nova, Sali
Pawiatan (satu angkatan dengan Mariska Sebayang). Sali
**) yang muda dan energik, ternyata nasibnya juga sama
dengan Agung. Sali diputus masa kontraknya oleh PSDM
dengan alasan, menurut hasil psikotes, Sali tidak
cocok bekerja sebagai karyawan di lingkup redaksional.
Masih kata PSDM, Sali cocoknya bekerja di lingkup
kerja non redaksi yang teratur jam kerjanya.
Apa mau dikata memang itu nasib yang menimpa putri
dari Mas Bambang SP (wartawan senior Kompas). Mas
Bambang sendiri pernah bicara kepada saya lewat
telepon, dirinya tak habis mengerti kenapa putrinya
tidak lolos sebagai reporter Nova.
Namun Mas Bambang SP legowo dan tidak menjadikannya
hal itu sebagai masalah besar, karena setelah Sali
tidak diperpanjang masa kontraknya di Nova, Sali malah
diterima sebagai reporter desk Hukum di Koran Seputar
Indonesia,grup MNC.Nah lho (lagi)!
Apa Pak Jakob masih harus turun tangan?
Kalo Mas Bambang SP tak mengerti tentang puterinya
yang tidak lolos sebagai reporter NOVA, saya lebih
tidak mengerti tentang kiprah lembaga PSDM kita.
Seperti kasus Arsa Tabloid Soccer yang muncul di
bulan Mei 2006 (terancam diPHK karena menikahi Redpel
Soccer) hingga menjalani proses hukum ke Pengadilan
Hubungan Industrial, Jakarta di tahun 2007. Walau
dalam perjalanannya ada dialog dan titik temu untuk
mencapai win-win solution dengan diambil alihnya kasus
tersebut oleh pihak PSDM korporat, setelah melakukan
mediasi di hotel Santika.
Paling gres, ya kasus PHK karyawan/wartawan Majalah
Komputer Aktif dan Majalah SNAP, dimana kasus tersebut
sampai-sampai membuat Pak Jakob Oetama turun langsung
bertemu dengan teman-teman Komputer Aktif sehari usai
check up kesehatan di Singapura.
Pak Jakob, cerita teman-teman Komputer Aktif sampai
menitikkan air mata mendengarkan uraian dari
teman-teman Komputer Aktif disaksikan oleh Pimpinan
Redaksi Komputer Aktif dan pimpinan PSDM Majalah.
Dimana peran PSDM? Apa tak bisa menangani masalah
internal Gramedia Majalah di lingkungan jalan Panjang?
Lagi-lagi Pak Jakob yang sudah sepuh harus disibukkan
dengan masalah seperti ini.
Banyak fakta yang membuat PSDM kita kehilangan
kepercayaannya di mata karyawan di lingkungan Jalan
Panjang. Belum lagi image PSDM dimata karyawan, malah
dirasakan sebagai polisi atau administrator belaka,
jauh dari kata : mitra. Sampai-sampai bila ada
kalimat : “ Lagi dipanggil PSDM†menjadi kalimat
menakutkan di kalangan karyawan.
Saya rasa dalam tahun-tahun mendatang bila PSDM kita
tidak segera berbenah atau dibenahi, untuk menjadi
sebuah Human Resourch Development (HRD) yang modern
dan profesional seperti di perusahaan-perusahaan besar
lainnya, sepertinya akan menjadi lembaga pengembangan
Sumber Daya Manusia yang ketinggalan jaman.
Malu dong ah!
Daniel Supriyono
*) menurut pengakuan M. Yuniadhi Agung
**) menurut pengakuan Sali Pawiatan